Pembebasan Nasional

Sabtu, 26 Maret 2011

Alangkah besarnya sumbangan yang diberikan oleh Gerakan Pembebasan Nasional kepada perkembangan gerakan perempuan. Disatu sisi, berbagai oarganisasi nasional maupun partai politik saat itu berupaya membangun sayap perempuannya sendiri, ataupun mendukung dan didukung oleh perjuangan perempuan disatu sektor atau kelas tertentu. Disisi lain, perkembangan gerakan berbasis agama seperti muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan. Berbagai jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam belanda, tetapi terutama dalam bahasa melayu. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan memodernisasi dirinya.

Saat Sarekat Dagang Islam mengubah namanya menjadi Sarekat Islam, bulan september 1912, maka watak organisasi pun berubah. Dari yang semula didominasi oleh kaum borjuis kecil pedagang batik kelontong Solo dan sekitarnya yang mengorganisir diri untuk menghadapi pedagang Cina, kini keanggotaanya menjadi lebih massif, lebih terbuka, dan konsekuensinya, lebih politis. Alasan-alasan komersial yang melandasi pendiriannya dulu telah memudar, karena muncul kebutuhan rakyat jajahan, khususnya di pedesaan, akan wadah untuk melakukan perlawanan. Meski arus perlawanan ini coba terus ditahan-tahan oleh para pemimpin SI yang kebanyakan berhaluan Islam modernis, agak mistik meski berpaham liberal.
Hingga Sneevliet mendarat tahun 1913, belum ada gerakan kiri di Indonesia seperti sebuah titik ditengah jutaan mil samudera, dimana puluhan negeri- negeri lainpun tengah memperjuangkan harga diri dan kemerdekaan. Cikal bakal Partai Komunis Indonesia, ISDV (Perempuan Sosial Demokrat Hindia Belanda) didirikan di tahun 1914. Semaoen yang masih sangat muda pada waktu itu, merupakan salah satu kadernya yang bersemangat dalam mengorganisir SI semarang, meski tak cukup punya uang untuk masuk sekolah Belanda. Desakan-desakan dan pengaruh kelompok kiri ditubuh SI terus membesar, dan para pimpinan moderatnya mulai kehilangan kontrol atas SI. Tahun 1921, banyak cabang SI yang membelot ke SI merah pimpinan Semaoen. SI Merah lalu menjadi SI Rakyat.

Salah satu persoalan yang membuat pertikaian tajam dalam tubuh SI adalah desakan kelompok kiri untuk mengorganisir dan membela kaum buruh dan tani. Jajaran pimpinan SI menolak memberi dukungan bagi militansi perlawanan kaum buruh dan tani, yang sebagiannya adalah perempuan. Namun, aksi-aksi buruh, khususnya buruh trasportasi dan perkebunan, serta aksi kaum tani terus bergolak. Sarekat rakyatpun mengorganisir berbagai demontrasi politik buruh perempuan menuntut kenaikan upah, penghapusan buruh anak, perpanjangan kontrak maksimum, uang pensiun dan perlindungan kerja. Salah satu aksi buruh perempuan pada tahun 1926 yang diorganisir SR di semarang adalah aksi “caping kropak”, dimana para buruh perkebunan perempuan berunjukrasa menuntut kesejahteraan dengan menggunakan topi bambu.

Gerakan perempuan kelas bawah yang diorganisir SI merah (kemudian SR) berada dalam posisi yang bertentangan dengan Aisyah, sayap perempuan muhammadiyah. Muhammadiyah dan aisyah yang kebanyakan anggotanya adalah tani kaya, istri tuan tanah dan borjuis kecil jogya dan solo itu berada dalam kepentingan yang berseberangan dengan SR, yang kebanyakan anggotanya adalah buruh perempuan miskin dan tani papa. Ini merupakan awal dari pertentangan laten yang tak terdamaikan antara gerakan perempuan sayap kiri dengan kaum perempuan islam dimasa mendatang. Perbedaan tajamnya bukan hanya berdasarkan pada kepentingan kelas yang direpresentasikan oleh masing-masing kelompok, namun juga untuk isu-isu seperti poligami dan keterlibatan aktif perempuan sebagai pimpinan politik.

Pemberontakan 1926 membawa banyak korban dari para aktivis perempuan. Kali ini bukan karena sekedar membantu suami, namun disebabkan kegiatan mereka sendiri. Sukaesih dan Munasiah dari jawa barat, bersama dengan kawan-kawan mereka yang lain, dikirim ke kamp konsentrasi belanda di digul atas. Kebanyakan aktivis perempuan ini adalah anggota dari Sarekat Rakyat ataupun PKI yang berdiri tahun 1922. penjajah belanda yang sudah lama menanti- nanti saat yang tapat untuk menghancurkan kaum radikal, melakukan pembersihan terhadap tokoh-tokoh SR dan PKI saat itu, termasuk para perempuannya. Tokoh-tokoh ini tidaklah populer seperti kartini. Publikasi kartini diperkenankan dan difasilitasi oleh pemerintah belanda karena saat itu mereka membutuhkan bukti untuk menunjukkan sukses pelaksanaan politik etisnya di tanah jajahan, dengan mengusung pameran intlektualitas dan kehalusan tulisan si Putri Jepara. Meski demikian, perjuangan dkk., sangat konkrit dan revolusioner, karena bukan hanya berbicara tentang pembebasan kaum perempuan, tetapi juga perjuangan untuk sosialisme, dengan kemerdekaan sebagai jembatannya. Munasiah, misalnya dalam sebuah kongres perempuan di semarang menyatakan bahwa: “ Wanita itu mataharinya rumah tangga, itu dulu! Tapi sekarang perempuan jadi alatnya kapitalis. Padahal sejak zaman mojopahit, wanita sudah berjuang. Sekarang adanya pelacur, itu bukan salahnya wanita. Tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme!”

Terlepas dari perbedaan latar belakang ideologi yang dianutnya, beberapa hal penting patut jadi kesimpulan. Gagasan-gagasan feminis, berikut praktek hingga pembentukan organisasi-organisasi perempuan selama masa periode pertama gerakan perempuan Indonesia ini, ternyata pada umumnya muncul sebagai inisiatif dari kalangan perempuan menengah keatas. Mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Putri Mardhika (yang dekat dengan budi utomo), hingga aisyah. Hanya sayap perempuan dari Sarekat Rakyat-lah yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya dalam pengorganisasian dan membangun radikalisasi perempuan miskin. Persoalan-persoalan yang diangkatpun, oleh karenanya lebih banyak menyangkut hal yang menguntungkan ataupun dapat diakses oleh perempuan menengah keatas, seperti permaduan, perdagangan anak dan kesetaraan pendidikan. Perempuan buruh dan tani telah jauh sebelumnya terlibat dalam carut marut proses produksi keji kaum kolonial semacam tanam paksa, mengalami ketertindasan dan terhina dirinya sebagai kelas proletar. Ini mirip dengan gerakan perempuan amerika dan eropa di abad ke-18, yang memfokuskan tuntutannya pada hak untuk memilih dan dipilih (universal suffrage). Meski demikian, seminimal apapun pengaruhnya baik mayoritas kaum perempuan dikelas bawah, gerakan perempuan menengah ini telah mampu membuka jalan dan peluang bagi perjuangan kaum perempuan selanjutnya.

0 komentar:

Posting Komentar