Sahabat Sejati

Sabtu, 26 Maret 2011

Betapa enak menjadi anak orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia.
Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan sopir pribadi.
Meskipun demikian, ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul.
Seperti pada kawan-kawan, Iwan yang datang ke rumah. Mereka menyambutnya secara kekeluargaan sehingga kawannya banyak yang betah kalau main di rumah Iwan.
Iwan sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Momon.
Rumah momon masih satu kelurahan dengan rumah Iwan. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Momon tidak main ke rumah Iwan.
“Ke mana, ya, Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tak pernah absen. Selalu datang.”
“Mungkin sakit!” jawab Mama.
“Ih, iya, siapa tahu ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin nengok!” katanya bersemangat.
Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian ia menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon.
Ia mendapat keterangan bahwa Momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar berita, bapaknya di-PHK dari pekerjaan.
Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.
“Oh, kasihan Momon,” ucapnya dalam hati.
Di rumah Iwan tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah wajahnya selalu murung.
Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa menegur.
Momon, Pa”.
“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Iwan menggeleng.
“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.
“Momon sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Iwan.
“Kalau Papa tidak percaya, tanya deh, Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Aku harap Papa bisa menolong Momon!”
“Maksudmu?”
“Aku ingin Momon bisa berkumpul kembali dengan aku!” Iwan memohon dengan agak mendesak.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat rumah Momon di desa itu!” kata Papa.
Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon di desa. Ia merasa senang.
Ini karena berkat pertolongan pemililk rumah yang pernah dikontrak keluarga Momon.
Kemudian Iwan bersama Papa datang ke rumah Momon di wilayah Kadipaten. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam.
Tempatnya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau dengan naik ojek. Jaraknya kurang lebih dua kilometer.
Kedatangan mereka disambut orang tua Momon dan Momon sendiri. Betapa gembira hati Momon tatkala bertemu Iwan. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu.
Semula Momon agak kaget dengan kedatangan Iwan secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau mau pindah ke desa.
“Sorry, ya, Wan. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”
“Ah tak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”
Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Momon. Ternyata orang tua Momon tidak berkeberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Momon sendiri.
“Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Bandung. Kami anggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau?” tanya Papa.
“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan menanggung.”
“Baiklah kalau memang Bapak dan Iwan menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.”
Kemudian Iwan bangkit dari tempat duduk lalu mendekat dan memeluk Iwan. Tampak mata Iwan dan Momon berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.
Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan.
Kini Momon tinggal di rumah Iwan. Sementara orang tuanya masih tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Iwan yang sudah tua.

0 komentar:

Posting Komentar