Tanggal Tujuh

Jumat, 25 Maret 2011

Pam Imran menatap dingin surat yang tergeletak di hadapannya. Surat itu baru saja dia terima. Pengirimnya adalah guru yang setiap hari mengajar anaknya, Ari, isinya? Ya, isi surat itu yang membuatnya jadi tidak habis pikir.
Di dalam surat itu dikatakan bahwa sudah 3 bulan Ari tidak melunasi uang SPP-nya. Padahal seingatnya, ia tak pernah melalaikan kewajibannya yang satu ini.
Pak Imran hampir tidak dapat mempercayai pikirannya sendiri. Ia tidak percaya, kalau Ari anak yang begitu disayanginya, telah begitu berani menghabisi uang SPP yang seharusnya ia berikan kepada gurunya.
Setiap tanggal tujuh, kapan anaknya selalu meminta uang bayaran kepadanya, Pak Imran tahu itu. Karenanya, sebelum berangkat ke kantor ia tidak memberikan uang SPP itu kepada istrinya. Pak Imran sengaja duduk di serambi depan menunggu Ari.
Sementara itu Ari sendiri sejak semalam ia telah merenung-renung. Ia ingin sekali mentraktir kawan-kawannya seperti yang ia janjikan kepada mereka.
Ari masih ingat ketika Usman berteriak,
“Awas, jangan lupa ya, Ri!”
Ari tertawa-tawa di pintu gerbang sekolah. Ia merasa bangga dapat berbuat baik kepada kawan-kawannya yang tak punya. Dalam hati, ia bersyukur mempunyai orang tua yang cukup berada.
Selesai mengemasi alat-alat sekolahnya, ia segera pergi menemui ibunya di dapur yang sedang menyiapkan sarapan pagi.
“Sudah selesai, Bu?” Ari bertanya.
Ibunya tersenyum. Ari sarapan tanpa banyak cakap. Ini memang kebiasaannya sejak berumur empat tahun dulu. Ibu dan ayahnya melarang banyak bicara ketika makan, kurang sopan.
Selesai sarapan, Ari menemui ayahnya yang dilihatnya sejak tadi duduk di serambi depan sambil membaca koran yang terbit kemarin.
 “Yah, bayaran. Ini kan sudah tanggal tujuh,” ujar Ari sambil membetulkan tali sepatunya.
“Sudah Ayah lunasi semuanya, Ari. Kamu tak usah lagi repot-repot memikirkan uang bayaran,” jawab Pak Imran datar.
Namun, pada pendengaran Ari, ucapan ini bak halilintar di siang bolong.
“Sudah dilunasi?” berulang-ulang kata ini ia ucapkan dalam hati.
“Kenapa bengong?” Pak Imran bertanya.
Kini Ari memang betul-betul sadar. Ayahnya telah tahu kalau ia senang sekali mentraktir kawan-kawannya dengan uang SPP. Ari diam mematung.
Ia seolah siap menunggu hukuman yang akan diberikan ayahnya. Ari tak kuasa berkata. Tak kuasa menatap mata ayahnya.
Air mata penyesalan baru akan keluar dari sudut matanya tatkala mendadak ibunya muncul dan segera membimbingnya ke luar.
Ibu mengelus rambutnya dengan lembut, penuh kasih sayang. Sedikit Ari merasa senang. Ia merasa dilindungi oleh ibunya.
“Tak usah kamu bersedih, Ari,” kata ibunya, “Kamu harus terus sekolah. Ibu dan ayah memaafkan, kalau kau berjanji tak akan mengulanginya. Nah, berangkatlah.”
Ari ingin menangis. Tetapi air matanya tidak mau keluar. Ia cuma menuruti ucapan ibunya tanpa dapat membantah sedikit pun. Dan… ia sadar sekarang. Betapapun juga, ibu maupun ayahnya sangat menyayanginya.
Beliau tak ingin ia berperangai jelek. Tak sepantasnya ia membalas kasih sayang itu dengan perbuatan yang tercela.

0 komentar:

Posting Komentar